Tidak bolehkan manusia
menuliskan takdirnya sendiri?
Tatkala detik-detik kebahagiaan
mistis diawali dari peristiwa sederhana. Subuh, saat aku masih tertidur,
penyihir selalu bangun lebih dahulu. Ia bangun dalam gelap dan meditasi
panjang. Menanti hari dan menerangi baying-bayang dengan api ketaatan. Aku
kadang tidur larut malah sambal merapal doa meskipun hanya sebentar. Sesekali
melihatnya tersenyum ke arahku.
Aku adalah makhluk lemah, bahkan
saat iblis berkeliaran di sekitar rumah sambal menebarkan kepedihan, aku tetap
bersyukur. Namun hal tersebut dibuyarkan oleh keimananku pribadi kepada
pencipta semesta.
Iblis mungkin mengaku membawa pesan dari Tuhan, namun lagak
mereka adalah perangkap yang akan menjerumuskan. Iblis juga mampu mengambil
wujud apapun, dan mengetahui banyak hal. Seberapa cerdasnya, Iblis
berkekurangan dalam hal kebaikan. Mereka bersemayam di udara hingga bintang
gemintang.
Aku mencintai penyihir setengah dewa. Aku memiliki waktu, ia
abadi. Sebuah takdir yang amat berbeda. Kilauan cahaya memancar dari wajahnya.
Mata lembut seperti mata seorang anak lelaki muda seolah-olah menjadi
transparan. Kulit putih pucatnya yang
tidak pernah dinajiskan dan cara menarinya seperti kupu-kupu. Hingga aku
meyakinkan diriku jika aku mati, aku ingin bangkit dari kematian di bumi dengan
ciumannya.
Dia pernah berkata padaku,”Jika keinginan rahasiamu tidak
pernah berhasil, masih ada satu musim ketika seseorang berharap untuk
selamanya”.
Iblis Besar diam-diam menyembunyikan bayanganku di hadapannya.
Perbedaan dahsyat begitu besar. Namun aku tidak peduli jika dunia direduksi
menjadi abu. Aku juga tidak peduli jika mereka berebut meraih semuanya. Aku
paham, mataku tidak akan pernah lagi diberkahi dengan visi fajar yang indah.
Bahkan jika para dewa mengikat hidupku dalam satu bundel pengampunan dan
menawarkan sebuah kebebasan.
Selamanya aku akan diam-diam menatap wajah yang tertidur itu.
Sampai angin lembut yang menggoda kita untuk tidur mengelilingi kita. Cinta ini
akan melampaui waktu. Aku akan membuatnya mekar sebelum dirinya menjalani malam
dan pagi tanpa akhir. Menemaninya meramu racikan sihir dari bunga-bunga paling
beracun sekalipun di negeri di mana tak seorang pun bisa meraihnya.
Ia menjalani hari-harinya dengan luka masa lampau.
Keluarganya dibakar habis oleh orang-orang karena melakukan prakrik sihir. Ia
sakit! Dan orang itu sakit memiliki mimpi yang tidak pernah terwujud. Bertumbuh
dengan orang-orang yang dicintainya.
“Aku mengampuni mereka. Aku tidak ingin membunuh mereka
dengan kebencian,” ucapnya berulang sambal tersenyum.
*
Kenapa cinta harus lahir di dadaku? Bunga-bunga yang telah
mekar pelan-pelan harus tenggelam kembali ke tanah oleh waktu. Padahal saat
kami bersama, waktu seolah dipenuhi dengan cinta yang hidup. Dengan suara
jernih yang terus memberikan malam tanpa akhir kepadaku. Tapi aku akan tetap
memikirkannya. Bahkan jika musim manusiaku akan segera berakhir. Hujan turun
berkali-kali tapi sekarang sudah berhenti. Sepertinya adegan yang selalu aku
tonton dengan mata tertutup. Aku ingin selalu bersama si penyihir. Keinginanku
lebih tinggi daripada hidup dengan orang lain. Saat bersamanya, aku merasa
dekat dengan langit. Aku merasa dekat dengan sesuatu yang cerah dan mengkilap.
Aku mengharapkan cahaya!
Suatu ketika, Iblis menginginkan jiwa sang penyihir. Selama
dia masih menginginkannya, iblis tidak akan melepaskanku juga. Hal itu itu akan
menghalangi jalan menuju sorga. Namun jika aku harus terbakar bersamanya suatu
waktu, aku akan baik-baik saja. Karena aku menyertai kebenaran.
*
Aku tidak bisa menghitung berapa lama lagi aku bisa menemani
sang penyihir. Aku masih ingin tahu
seberapa banyak yang aku tahu tentang dia. Mengikuti sepanjang peta dengan jari
manusiaku. Aku perhatikan wajah gelisahnya suatu pagi. Meskipun ia
menyembunyikannya kepadaku. Ia masih meracik ramuan obat untukku. Usia renta
ini memang membuatnya agak kerepotan. Aku berlarut sedih, seolah-olah menolak
wajah mondar-mandir itu. Hatiku membuatkannya sketsa. Ketika aku melihat ke
atas, sinar memenuhi langit, tanpa memudar. Kalau saja kami bisa seperti
matahari, bersinar sepanjang waktu. Aku ingin ditahan oleh aromanya meski hanya
sebentar.
Udara di luar menarik kerahku, lalu aku membalikkan
punggungku. Desahan angin, kabut putih, ceritakan musim ini. Sambil mengulangi semuanya,
tiba-tiba aku berpikir kenapa aku ada di sini? Aku ingin berada di sisinya
selamanya, menatap senyumnya di saat ia mengobati orang-orang yang
mendatanginya dengan segala penyakit.
Aku ingin menjalani setiap peristiwa yang berubah di
matanya. Dalam satu adegan sarapan pagi hingga menjelang tidur dan diwarnai
dengan warna lembut. Aku ingin waktu berhenti selamanya. Selalu bisa membawanya
ke musim yang cemerlang. Ke tempat bunganya, mekar di langit seperti salju impiannya.
Ah, sudahlah… waktuku telah habis. Bagaimanapun, aku fana
dan ia abadi.