Kamis, 06 Agustus 2020

Manusia dan Penyihir

 



Tidak bolehkan manusia menuliskan takdirnya sendiri?

 

Tatkala detik-detik kebahagiaan mistis diawali dari peristiwa sederhana. Subuh, saat aku masih tertidur, penyihir selalu bangun lebih dahulu. Ia bangun dalam gelap dan meditasi panjang. Menanti hari dan menerangi baying-bayang dengan api ketaatan. Aku kadang tidur larut malah sambal merapal doa meskipun hanya sebentar. Sesekali melihatnya tersenyum ke arahku.

Aku adalah makhluk lemah, bahkan saat iblis berkeliaran di sekitar rumah sambal menebarkan kepedihan, aku tetap bersyukur. Namun hal tersebut dibuyarkan oleh keimananku pribadi kepada pencipta semesta.

Iblis mungkin mengaku membawa pesan dari Tuhan, namun lagak mereka adalah perangkap yang akan menjerumuskan. Iblis juga mampu mengambil wujud apapun, dan mengetahui banyak hal. Seberapa cerdasnya, Iblis berkekurangan dalam hal kebaikan. Mereka bersemayam di udara hingga bintang gemintang.

Aku mencintai penyihir setengah dewa. Aku memiliki waktu, ia abadi. Sebuah takdir yang amat berbeda. Kilauan cahaya memancar dari wajahnya. Mata lembut seperti mata seorang anak lelaki muda seolah-olah menjadi transparan. Kulit putih pucatnya  yang tidak pernah dinajiskan dan cara menarinya seperti kupu-kupu. Hingga aku meyakinkan diriku jika aku mati, aku ingin bangkit dari kematian di bumi dengan ciumannya.

Dia pernah berkata padaku,”Jika keinginan rahasiamu tidak pernah berhasil, masih ada satu musim ketika seseorang berharap untuk selamanya”.

Iblis Besar diam-diam menyembunyikan bayanganku di hadapannya. Perbedaan dahsyat begitu besar. Namun aku tidak peduli jika dunia direduksi menjadi abu. Aku juga tidak peduli jika mereka berebut meraih semuanya. Aku paham, mataku tidak akan pernah lagi diberkahi dengan visi fajar yang indah. Bahkan jika para dewa mengikat hidupku dalam satu bundel pengampunan dan menawarkan sebuah kebebasan.

Selamanya aku akan diam-diam menatap wajah yang tertidur itu. Sampai angin lembut yang menggoda kita untuk tidur mengelilingi kita. Cinta ini akan melampaui waktu. Aku akan membuatnya mekar sebelum dirinya menjalani malam dan pagi tanpa akhir. Menemaninya meramu racikan sihir dari bunga-bunga paling beracun sekalipun di negeri di mana tak seorang pun bisa meraihnya.

Ia menjalani hari-harinya dengan luka masa lampau. Keluarganya dibakar habis oleh orang-orang karena melakukan prakrik sihir. Ia sakit! Dan orang itu sakit memiliki mimpi yang tidak pernah terwujud. Bertumbuh dengan orang-orang yang dicintainya.

“Aku mengampuni mereka. Aku tidak ingin membunuh mereka dengan kebencian,” ucapnya berulang sambal tersenyum.

*

Kenapa cinta harus lahir di dadaku? Bunga-bunga yang telah mekar pelan-pelan harus tenggelam kembali ke tanah oleh waktu. Padahal saat kami bersama, waktu seolah dipenuhi dengan cinta yang hidup. Dengan suara jernih yang terus memberikan malam tanpa akhir kepadaku. Tapi aku akan tetap memikirkannya. Bahkan jika musim manusiaku akan segera berakhir. Hujan turun berkali-kali tapi sekarang sudah berhenti. Sepertinya adegan yang selalu aku tonton dengan mata tertutup. Aku ingin selalu bersama si penyihir. Keinginanku lebih tinggi daripada hidup dengan orang lain. Saat bersamanya, aku merasa dekat dengan langit. Aku merasa dekat dengan sesuatu yang cerah dan mengkilap. Aku mengharapkan cahaya!

Suatu ketika, Iblis menginginkan jiwa sang penyihir. Selama dia masih menginginkannya, iblis tidak akan melepaskanku juga. Hal itu itu akan menghalangi jalan menuju sorga. Namun jika aku harus terbakar bersamanya suatu waktu, aku akan baik-baik saja. Karena aku menyertai kebenaran.

*

Aku tidak bisa menghitung berapa lama lagi aku bisa menemani sang penyihir. Aku masih  ingin tahu seberapa banyak yang aku tahu tentang dia. Mengikuti sepanjang peta dengan jari manusiaku. Aku perhatikan wajah gelisahnya suatu pagi. Meskipun ia menyembunyikannya kepadaku. Ia masih meracik ramuan obat untukku. Usia renta ini memang membuatnya agak kerepotan. Aku berlarut sedih, seolah-olah menolak wajah mondar-mandir itu. Hatiku membuatkannya sketsa. Ketika aku melihat ke atas, sinar memenuhi langit, tanpa memudar. Kalau saja kami bisa seperti matahari, bersinar sepanjang waktu. Aku ingin ditahan oleh aromanya meski hanya sebentar.

Udara di luar menarik kerahku, lalu aku membalikkan punggungku. Desahan angin, kabut putih, ceritakan musim ini. Sambil mengulangi semuanya, tiba-tiba aku berpikir kenapa aku ada di sini? Aku ingin berada di sisinya selamanya, menatap senyumnya di saat ia mengobati orang-orang yang mendatanginya dengan segala penyakit.

Aku ingin menjalani setiap peristiwa yang berubah di matanya. Dalam satu adegan sarapan pagi hingga menjelang tidur dan diwarnai dengan warna lembut. Aku ingin waktu berhenti selamanya. Selalu bisa membawanya ke musim yang cemerlang. Ke tempat bunganya, mekar di langit seperti salju impiannya.

Ah, sudahlah… waktuku telah habis. Bagaimanapun, aku fana dan ia abadi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar